Allah telah menetapkan risalah penciptaan manusia, iaitu beribadah kepada-Nya, kemudian menjadikannya khalifah dalam rangka membangun kemakmuran di muka bumi bagi para penghuninya yang terdiri dari manusia dan alam semesta.
Agar risalah ini menjadi abadi dalam sejarah peradaban manusia, Allah SWT ‘merekayasa’ agar dalam kehidupan terjadi hubungan interaksi ‘positif’ dan ‘negatif’ di antara semua makhluk-Nya secara umum, dan di antara manusia secara khusus. Yang dimaksud dengan interaksi positif ialah, adanya hubungan tolong menolong sesama makhluk. Sedangkan interaksi negatif ialah, adanya hubungan perang dan permusuhan sesama makhluk. Allah SWT berfirman:
“…Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebahagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai yang dicurahkan atas semesta alam.” (Al-Baqarah: 251).
Keabadian risalah tersebut sangat tergantung pada hasil dari setiap interaksi baik yang positif maupun negatif. Jika yang melakukan tolong menolong adalah orang-orang saleh, yang pada gilirannya mereka saling menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan; dan jika berada dalam peperangan, dimenangkan pula oleh orang-orang saleh itu, maka pasti yang akan terjadi adalah keabadian risalah.
Tapi jika yang melakukan tolong menolong adalah orang-orang buruk yang bersepakat melaksanakan kejahatan dan permusuhan, dan selanjutnya mereka pula yang memenangkan peperangan, maka pasti yang akan terjadi adalah kehancuran.
Disinilah letak politik yang berperanan dalam dakwah. Dakwah mengajak pada kebaikan, melaksanakan risalah penciptaan manusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah semua bentuk kemungkaran, sementara politik berperanan memberikan motivasi, perlindungan, pengamanan, fasiliti, untuk merealisasikan risalah tersebut.
Sejarah telah membuktikan, bahwa naskah-naskah Al-Qur’an yang sangat ideal pernah menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari umat manusia. Pada zaman Rasulullah SAW, Sahabat yang mulia Saidina Bilal bin Rabah yang hamba sahaya pada masa jahiliyah menjadi orang merdeka pada masa Islam, dan memiliki kedudukan yang sama dengan para bangsawan Quraisy, seperti Saidina Abu bakar Siddiq dan Saidina Umar bin Khattab. Ini karena Islam yang didakwahkan oleh Rasulullah SAW mengajarkan persamaan derajat, sekaligus beliau sebagai pemimpin umat – dan tidak salah jika dikatakan pemimpin politik umat – menjamin realisasi persamaan darjat itu sendiri.Sehingga pernah suatu ketika beliau marah kepada seorang sahabatnya yang mencela warna kulit Bilal.
Pada zaman yang sama, ketika Nabi SAW mengirim pasukannya ke negeri Syam, beliau berpesan agar pasukan itu tidak menebang pohon kecuali untuk keperluan memasak, melarang membunuh anak-anak, perempuan, orang tua yang tidak ikut berperang dan orang yang telah menyerah, beliau juga melarang membunuh orang yang sedang beribadah di gereja,. Ini semua adalah buah dari ajaran Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an.
Sepeninggalan beliau, Rasulullah SAW digantikan oleh Saidina Abu bakar Siddiq, Saidina Umar bin Khattab, Saidina Utsman bin ‘Affan dan Saidina Ali bin Abi Thalib secara berurutan. Pada zaman keempat sahabat itu, keadaan yang telah dibangun oleh Rasulullah SAW tidak berubah, semua warga dibawah kepemimpinan khilafah menjalankan hak dan kewajiban, mendapatkan persamaan derajat, tidak ada yang dizalimi kecuali mendapatkan haknya, atau berbuat zalim kecuali telah mendapatkan sangsi. Keadaan ini berlangsung sampai masa keemasan Islam di Damaskus, kemudian di Baghdad dan Andalusia.
Tapi seirng dengan perkembangan berikutnya, umat menjauh dari agamanya, kegiatan agama dijauhkan dari kegiatan realitas kehidupan masyarakat sehari-hari, demikian pula sebaliknya, hingga sampailah zaman itu pada generasi kita kini.
Kita bersedih dengan keadaan kita, umat Islam sebagai umat terbesar di alam raya ini, tapi terzalimi hak-haknya, umat Islam sebagai penduduk majoriti di dunia ini, tapi hancur dilekakan musuh dengan permainan dunia sementara, tidak boleh menjalankan syariat agamanya secara kaffah.
Mungkinkah sejarah kita hari ini berulang seperti sejarah generasi pertama umat ini. Sangat mungkin! Tentu apabila kita kembali memenuhi syarat-syaratnya. Antara salah satu syarat2nya ialah dakwah dan politik sebagai instrumen terlaksananya ajaran Islam harus bersatu menjadi karakter setiap muslim, atau dengan kata lain menjadi ahli yang mahir dalam berpolitik lantas dakwah menjadi senjatanya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan